Saat seorang bayi mungil lahir, semua orang dewasa di sekitarnya berbahagia. Harapan setinggi - tingginya digantungkan dan doa semulia - mulianya dipanjatkan.
Namun saat kenyataannya sang bayi tumbuh menjadi anak yang terbelakang, semua orang dewasa meratapinya. Mengasihaninya.
Hidupnya akan susah, kata mereka. Kasihan sekali, lanjut mereka.
Terbukti memang, hidup si anak susah. Memijat tetangga, dibayar lima ribu rupiah.
Di tengah perjalanan, dihadang anak tetangga. Uang lima ribu dirampas dan ditukar dengan seribu rupiah.
Anak bodoh, anak bodoh! Anak bodoh tidak perlu dibayar lima ribu. Ejekan terdengar sepanjang jalan.
Kasihan kamu nak, kasihan kamu nak. Ibu di rumah meneteskan air mata melihat hasilnya.
Si anak yang tak mengerti hanya merasa senang dengan apapun yang didapatnya.
Tahun demi tahun berlalu. Ketidakadilan dan ejekan adalah makanan sehari - hari si anak.
Namun ia tak pernah cukup mengerti tentang mengapa semua itu terjadi
dan ia hanya menerima semuanya begitu saja. Mungkin memang seharusnya begitu pikirnya.
Begitu yang terjadi hingga tubuhnya meninggi dan jakunnya muncul.
Waktunya pun tiba. Pemuda - pemuda berbondong - bondong berjalan menyusuri sungai,
meninggalkan desa dan masa kanak - kanak mereka.
Mengadu nasib di kota, mencari kebahagiaan kata mereka.
Ibu - ibu mengantar dengan air mata. Setengah sedih, setengah haru.
Perpisahan ini bisa jadi selamanya, kata mereka.
Ibunya pun meneteskan air mata. Anaknya semata wayang, takkan pernah ke mana - mana.
Sementara ia yang tak terlalu mengerti, hanya terus menjalankan kebiasaannya memijit. Yang berbeda hanyalah tidak ada lagi yang menghadang dan mengejeknya. Ia pulang dengan hasil utuh dan perasaan yang baru dikenalnya sebagai perasaan senang.
Hidupnya terus susah namun kebaikan dan kemurahan hati manusia terus mengalir. Bayarannya memijit bertambah, dan ia sudah bisa berhitung dan menabung.
Cukup masukkan ke kaleng ini saja setelah dapat uang, begitu kata ibunya
dan itu yang dilakukannya selalu tanpa terlupa.
Hingga ibunya menua dan semua orang hadir membantunya menguburkan sosoknya yg renta.
Apa ini, apa ini? Tanyanya pada yang hadir. Mengapa dada ini terasa sakit dan air keluar dari mataku? Semua yang hadir menangis terisak. Kasihan kau nak, kasihan kau nak.
Ia melanjutkan harinya dan belajar mengenal rasa sepi. Terkadang air masih keluar dari matanya saat terbayang ibu.
Ia yang tak terlalu mengerti mengenai kematian, hanya berpikir mungkin begitu seharusnya, dan hanya menjalaninya.
Hingga perlahan orang - orang yang dikenalnya sejak kecil pun satu persatu menghilang meninggal, dan air tak keluar lagi dari matanya.
Tahun - tahun berlalu, dan ia menjalani harinya seperti biasa.
Sepulangnya, seorang pria yang tak ia kenal, duduk tertunduk di pinggir jalan.
Ia menghampirinya namun tak berhasil bertanya.
Ketika pria itu menengadahkan kepala, ia melihat air keluar dari mata pria itu.
Aku anak durhaka. Ibu matipun aku tak kembali. Kukira kebahagiaan ada di kota sana. Kukira semua itu nyata. Tapi ini yg nyata ternyata. Aku bukan apa - apa, tak punya apa - apa, dan tak punya siapa - siapa.
Pria itu terus meracau dan air semakin banyak keluar dari matanya.
Ia yang tak terlalu mengerti apa yang dibicarakan pria itu, hanya memandanginya diam. Ia tak mengerti apa yang dibicarakannya, tapi ia mengenal air yang keluar dari mata itu.
Dan lihatlah aku sekarang, berbicara dengan si bodoh yang tak mengerti apa - apa! Si bodoh yang tak bisa apa - apa! Teriak pria keras - keras sambil menangis.
Ia mengenal itu! Pria itu adalah anak yang selalu mengatakan hal yang sama dulu. Yang selalu tertawa senang saat menukar uang lima ribu rupiah miliknya menjadi uang seribu rupiah.
Ia yang tak terlalu mengerti bagaimana menjelaskannya, berlari kencang ke arah rumahnya.
Bagus! Sekarang si bodoh pun meninggalkanku! Bodoh bodoh!! Pria itu terus meracau.
Tak berapa lama ia kembali ke hadapan pria itu dengan nafas terengah - engah.
Tukar ini dengan sepuluh ribu rupiah, katanya seraya memberikan uang lima puluh ribu rupiah kepada pria itu.
Kamu bodoh ya! Apa maksudmu! Pria itu marah dan berdiri mencengkeram keras lengannya.
Ampun ampun. Dulu kamu akan senang kalau sudah menukar uangku. Makanya tukar ini! Aku masih punya lagi kalau kamu perlu banyak sampai air itu tidak keluar lagi dari matamu, katanya ketakutan.
Pria itu melepaskan cengkeramannya dan tertegun lama.
Ini tukar. Katanya sambil menyorongkan uang yang dipegangnya.
Mata pria itu berkaca - kaca memandangnya seraya bertanya,
kenapa kau pikir ini bisa membuat air mataku tak turun lagi?
Ia yang tidak terlalu mengerti pertanyaannya itu berusaha mengatakan apa yang ia tahu.
Setiap aku ingat ibu, air mau keluar dari mataku. Aku pergi memijit dan uang itu yang kubawa pulang. Sekarang air tak keluar lagi dari mataku.
Pakailah untukmu juga, ucapnya perlahan pada pria itu.
Pria itu memeluknya erat dan menangis tersedu - sedu.
Ia yang tak terlalu mengerti dengan semua itu hanya berpikir mungkin memang seperti itu seharusnya. Ia pun memeluk pria itu juga.
Hingga akhir, hidupnya memang selalu susah. Tapi air tak pernah keluar lagi dari matanya.
Anak tetangganya itu membantunya hingga akhir hayatnya. Bersama - sama bekerja dan bertetangga. Hingga akhir ia tak pernah menikah. Ia yang tak pernah terlalu memahaminya, menganggap mungkin memang begitu seharusnya.
Sesaat sebelum ia meninggal, sahabatnya itu pernah bertanya padanya,
Kamu tahu apa itu bahagia? Apakah kamu merasa bahagia dengan hidupmu?
Ia yang tak terlalu mengerti pertanyaannya, berusaha menjawab apa yang ia tahu.
Mungkin memang begini seharusnya, jawabnya tersenyum.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah cerita yang diceritakan oleh pembantuku saat aku kecil dulu. Cerita yang aneh pikirku dulu. Terbiasa untuk selalu mencari moral ceritanya, saat itu aku tidak mendapatkannya. Tidak ada pembalasan untuk si anak nakal. Tidak ada keadilan untuk si bodoh. Tidak ada perubahan mendasar dalam kehidupannya. Tidak ada superhero atau sesuatu yang fantastis. Memang ada sedikit kebaikan hati, tapi itu lebih karena kebodohan si bodoh. Dan saat kutanyakan pada pembantuku, jawabannya "Saya ini orang bodoh non. tapi mungkin memang begini seharusnya. Jagain non biar jadi non yang jadi anak pinter."
Dua puluh tahun setelahnya, aku mengingat dan menulis cerita ini lagi, dan mataku berkaca - kaca. Moral ceritanya? Sangat berlimpah.
Ada kepasrahan dan keyakinan di sana. Ada kepolosan. Ada penerimaan hidup. Ada ketabahan. Ada kesederhanaan. Ada kebahagiaan dalam ketidakberadaan dan ketidakmewahan. Ada rasa hangat yang menyusup di relung hati.
Kisah tentang kesusahan dan kemudahan. Kisah tentang hidup yang tak pernah adil. Kisah tentang hidup yang tak selalu harus bahagia pun sempurna.
Kisah tentang hidup manusia.
- Pembantuku itu masih bekerja padaku hingga sekarang, setelah hampir 27 tahun bersama keluargaku. Beliau sudah seperti ibuku dan ibu adik - adikku sendiri :). Teringat saat dulu kutanya apa judul ceritanya, dia bilang: "Yah...cerita hidup orang desa."
http://viliaciputra.multiply.com/journal/item/1320
Namun saat kenyataannya sang bayi tumbuh menjadi anak yang terbelakang, semua orang dewasa meratapinya. Mengasihaninya.
Hidupnya akan susah, kata mereka. Kasihan sekali, lanjut mereka.
Terbukti memang, hidup si anak susah. Memijat tetangga, dibayar lima ribu rupiah.
Di tengah perjalanan, dihadang anak tetangga. Uang lima ribu dirampas dan ditukar dengan seribu rupiah.
Anak bodoh, anak bodoh! Anak bodoh tidak perlu dibayar lima ribu. Ejekan terdengar sepanjang jalan.
Kasihan kamu nak, kasihan kamu nak. Ibu di rumah meneteskan air mata melihat hasilnya.
Si anak yang tak mengerti hanya merasa senang dengan apapun yang didapatnya.
Tahun demi tahun berlalu. Ketidakadilan dan ejekan adalah makanan sehari - hari si anak.
Namun ia tak pernah cukup mengerti tentang mengapa semua itu terjadi
dan ia hanya menerima semuanya begitu saja. Mungkin memang seharusnya begitu pikirnya.
Begitu yang terjadi hingga tubuhnya meninggi dan jakunnya muncul.
Waktunya pun tiba. Pemuda - pemuda berbondong - bondong berjalan menyusuri sungai,
meninggalkan desa dan masa kanak - kanak mereka.
Mengadu nasib di kota, mencari kebahagiaan kata mereka.
Ibu - ibu mengantar dengan air mata. Setengah sedih, setengah haru.
Perpisahan ini bisa jadi selamanya, kata mereka.
Ibunya pun meneteskan air mata. Anaknya semata wayang, takkan pernah ke mana - mana.
Sementara ia yang tak terlalu mengerti, hanya terus menjalankan kebiasaannya memijit. Yang berbeda hanyalah tidak ada lagi yang menghadang dan mengejeknya. Ia pulang dengan hasil utuh dan perasaan yang baru dikenalnya sebagai perasaan senang.
Hidupnya terus susah namun kebaikan dan kemurahan hati manusia terus mengalir. Bayarannya memijit bertambah, dan ia sudah bisa berhitung dan menabung.
Cukup masukkan ke kaleng ini saja setelah dapat uang, begitu kata ibunya
dan itu yang dilakukannya selalu tanpa terlupa.
Hingga ibunya menua dan semua orang hadir membantunya menguburkan sosoknya yg renta.
Apa ini, apa ini? Tanyanya pada yang hadir. Mengapa dada ini terasa sakit dan air keluar dari mataku? Semua yang hadir menangis terisak. Kasihan kau nak, kasihan kau nak.
Ia melanjutkan harinya dan belajar mengenal rasa sepi. Terkadang air masih keluar dari matanya saat terbayang ibu.
Ia yang tak terlalu mengerti mengenai kematian, hanya berpikir mungkin begitu seharusnya, dan hanya menjalaninya.
Hingga perlahan orang - orang yang dikenalnya sejak kecil pun satu persatu menghilang meninggal, dan air tak keluar lagi dari matanya.
Tahun - tahun berlalu, dan ia menjalani harinya seperti biasa.
Sepulangnya, seorang pria yang tak ia kenal, duduk tertunduk di pinggir jalan.
Ia menghampirinya namun tak berhasil bertanya.
Ketika pria itu menengadahkan kepala, ia melihat air keluar dari mata pria itu.
Aku anak durhaka. Ibu matipun aku tak kembali. Kukira kebahagiaan ada di kota sana. Kukira semua itu nyata. Tapi ini yg nyata ternyata. Aku bukan apa - apa, tak punya apa - apa, dan tak punya siapa - siapa.
Pria itu terus meracau dan air semakin banyak keluar dari matanya.
Ia yang tak terlalu mengerti apa yang dibicarakan pria itu, hanya memandanginya diam. Ia tak mengerti apa yang dibicarakannya, tapi ia mengenal air yang keluar dari mata itu.
Dan lihatlah aku sekarang, berbicara dengan si bodoh yang tak mengerti apa - apa! Si bodoh yang tak bisa apa - apa! Teriak pria keras - keras sambil menangis.
Ia mengenal itu! Pria itu adalah anak yang selalu mengatakan hal yang sama dulu. Yang selalu tertawa senang saat menukar uang lima ribu rupiah miliknya menjadi uang seribu rupiah.
Ia yang tak terlalu mengerti bagaimana menjelaskannya, berlari kencang ke arah rumahnya.
Bagus! Sekarang si bodoh pun meninggalkanku! Bodoh bodoh!! Pria itu terus meracau.
Tak berapa lama ia kembali ke hadapan pria itu dengan nafas terengah - engah.
Tukar ini dengan sepuluh ribu rupiah, katanya seraya memberikan uang lima puluh ribu rupiah kepada pria itu.
Kamu bodoh ya! Apa maksudmu! Pria itu marah dan berdiri mencengkeram keras lengannya.
Ampun ampun. Dulu kamu akan senang kalau sudah menukar uangku. Makanya tukar ini! Aku masih punya lagi kalau kamu perlu banyak sampai air itu tidak keluar lagi dari matamu, katanya ketakutan.
Pria itu melepaskan cengkeramannya dan tertegun lama.
Ini tukar. Katanya sambil menyorongkan uang yang dipegangnya.
Mata pria itu berkaca - kaca memandangnya seraya bertanya,
kenapa kau pikir ini bisa membuat air mataku tak turun lagi?
Ia yang tidak terlalu mengerti pertanyaannya itu berusaha mengatakan apa yang ia tahu.
Setiap aku ingat ibu, air mau keluar dari mataku. Aku pergi memijit dan uang itu yang kubawa pulang. Sekarang air tak keluar lagi dari mataku.
Pakailah untukmu juga, ucapnya perlahan pada pria itu.
Pria itu memeluknya erat dan menangis tersedu - sedu.
Ia yang tak terlalu mengerti dengan semua itu hanya berpikir mungkin memang seperti itu seharusnya. Ia pun memeluk pria itu juga.
Hingga akhir, hidupnya memang selalu susah. Tapi air tak pernah keluar lagi dari matanya.
Anak tetangganya itu membantunya hingga akhir hayatnya. Bersama - sama bekerja dan bertetangga. Hingga akhir ia tak pernah menikah. Ia yang tak pernah terlalu memahaminya, menganggap mungkin memang begitu seharusnya.
Sesaat sebelum ia meninggal, sahabatnya itu pernah bertanya padanya,
Kamu tahu apa itu bahagia? Apakah kamu merasa bahagia dengan hidupmu?
Ia yang tak terlalu mengerti pertanyaannya, berusaha menjawab apa yang ia tahu.
Mungkin memang begini seharusnya, jawabnya tersenyum.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah cerita yang diceritakan oleh pembantuku saat aku kecil dulu. Cerita yang aneh pikirku dulu. Terbiasa untuk selalu mencari moral ceritanya, saat itu aku tidak mendapatkannya. Tidak ada pembalasan untuk si anak nakal. Tidak ada keadilan untuk si bodoh. Tidak ada perubahan mendasar dalam kehidupannya. Tidak ada superhero atau sesuatu yang fantastis. Memang ada sedikit kebaikan hati, tapi itu lebih karena kebodohan si bodoh. Dan saat kutanyakan pada pembantuku, jawabannya "Saya ini orang bodoh non. tapi mungkin memang begini seharusnya. Jagain non biar jadi non yang jadi anak pinter."
Dua puluh tahun setelahnya, aku mengingat dan menulis cerita ini lagi, dan mataku berkaca - kaca. Moral ceritanya? Sangat berlimpah.
Ada kepasrahan dan keyakinan di sana. Ada kepolosan. Ada penerimaan hidup. Ada ketabahan. Ada kesederhanaan. Ada kebahagiaan dalam ketidakberadaan dan ketidakmewahan. Ada rasa hangat yang menyusup di relung hati.
Kisah tentang kesusahan dan kemudahan. Kisah tentang hidup yang tak pernah adil. Kisah tentang hidup yang tak selalu harus bahagia pun sempurna.
Kisah tentang hidup manusia.
- Pembantuku itu masih bekerja padaku hingga sekarang, setelah hampir 27 tahun bersama keluargaku. Beliau sudah seperti ibuku dan ibu adik - adikku sendiri :). Teringat saat dulu kutanya apa judul ceritanya, dia bilang: "Yah...cerita hidup orang desa."
http://viliaciputra.multiply.com/journal/item/1320
Tidak ada komentar:
Posting Komentar