Sebagai suatu benua maritim yang sangat strategis, geografi Indonesia bukan hanya memberikan makna yang besar bagi penduduknya, namun juga berperan penting dalam dimensi kepentingan global. Sisi lain dari kekayaan hayati dan nirhayati yang besar adalah bahwa lautan Indonesia memegang peranan penting dalam pengaturan sistim cuaca dan iklim dunia terutama sejak issue global warming diungkap. Oleh karena itu wilayah laut Indonesia merupakan tumpuan harapan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan hidup bangsa Indonesia di masa datang. Namun demikian kita menyadari bahwa ditengah kekayaan sumberdaya laut kita yang sangat melimpah, keberlangsungan bangsa Indonesia sesungguhnya dalam ancaman besar. Oleh karena itu, eksistensi NKRI sangat ditentukan oleh derajat keberhasilannya dalam memanfaatkan kenyataan archipelagic tersebut.
Wilayah perairan Pasifik Barat dikenal mempunyai karakter oseanografi yang sangat dinamis. Perairan wilayah ini merupakan tempat berkumpulnya massa air yang datang dari bumi belahan selatan dan utara dari Samudera Pasifik. Bercampurnya kedua massa air yang berbeda karakteristiknya ini sangat mempengaruhi keragaman salinitas terutama di lapisan thermoklin dan lapisan pertengahan perairan ini. Dalam konteks kajian oseanografi, wilayah retrofleksi arus tepi barat Pasifik tropis menjadi sangat penting. Dimana wilayah ini selalu muncul suatu pusaran massa air (eddy) yang dikenal dengan nama Halmahera Eddy. Meskipun karakteristik Halmahera Eddy belum dipahami secara mendalam, namun dapat dipercaya bahwa variabilitas Halmahera Eddy ini berkorelasi erat dengan neraca bahang dan air tawar di lapisan permukaan wilayah equator Pasifik Barat serta berperan penting dalam pembentukan El Nino South Oscillation (ENSO).
Dengan karakter oseanografinya yang sangat dinamis ini, perairan ini menjadi subur dengan kelimpahan hayati yang cukup tinggi. Melimpahnya kekayaan hayati ini menjadi daya tarik bagi para nelayan asing untuk mencari ikan pelagis bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, cakalang, tongkol, tenggiri dan setuhuk. Namun sangat disayangkan, nelayan Indonesia belum memanfaatkan kekayaan hayati ini secara baik. Bisa saja karena armada kapal yang ada (terutama nelayan lokal) belum dapat menjangkau perairan kaya ikan ini mengingat kapal perikanan yang ada masih berukuran kecil dengan teknologi penangkapan dan alat navigasi yang sederhana. Disamping itu pengetahuan yang baik tentang lokasi-lokasi tempat migrasi ikan juga masih sangat kurang dipahami oleh mereka. Hal ini menjadikan wilayah perairan ini sangat miskin dengan aktivitas penduduk dan nelayan Indonesia. Patroli kapal oleh aparat penegak hukum juga sangat jarang ditemui. Oleh karena itu wilayah ini menjadi sangat rawan oleh munculnya Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing.
b. Permasalahan
Dalam masyarakat kita terdapat pepatah “Ada gula, ada semut”. Begitu pula halnya dengan kekayaan hayati di dalam suatu perairan. Wilayah perairan utara Halmahera-Papua telah menjadi daya tarik nelayan asing untuk menangkap ikan secara besar-besaran di wilayah ini. Sementara nelayan Indonesia tidak dapat menikmati kekayaan hayati lautnya mengingat keterbatasan “daya saing” akan teknologi kapal dan sumberdaya manusianya. Dari sini kemudian mengalir dengan munculnya problem illegal fishing dan tingkat kerawanan politik dan keamanan di wilayah perairan perbatasan seperti gangguan stabilitas keamanan serta potensi konflik dengan negara lain.
Meningkatnya jumlah armada perikanan yang berlokasi pada daerah yang sama akan meningkatkan degradasi kualitas lingkungan perairan tersebut. Apalagi ketika teknologi penagkapan ikan yang digunakan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dicari jalan pemecahan untuk mengatasi permasalahan tersebut yang tentu saja dengan memperhatikan daya dukung hayati (carying capacity) dengan model pembanguna perikanan berkelanjutan(sustainable development fisheries).
Oseanografi Regional Perairan Utara Halmahera-Papua
Laut Indonesia mempunyai peranan penting dalam sirkulasi massa air dunia yang dikenal dengan Arus Sabuk Lintas Dunia, dimana laut Indonesia merupakan satu-satunya jalur lintas bahang dan air tawar dunia melalui samudera pada lintang rendah. Sirkulasi global yang dikenal dengan the Great Conveyor Belt melalui wilayah perairan Indonesia dikenal sebagai arus lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo merupakan aliran arus terus-menerus dari Samudra Pasifik ke Samudra Indonesia sebagai saluran air permukaan hangat yang mengumpul di utara Pulau Halmahera-Papua. Oleh karena itu, perairan ini memerankan permainan penting dalam dinamika iklim dan cuaca dunia.
Perairan Utara Halmahera-Papua merupakan perairan yang memiliki karakteristik massa air yang berbeda dengan perairan wilayah Indonesia lainnya. Hal ini disebabkan oleh letak geografis perairan tersebut yang terbuka dengan Samudra Pasifik. Pada wilayah ini angin pasat yang mantap (steady) terjadi sepanjang tahun. Di sepanjang perairan tropis Pasifik angin pasat ini menyeret massa air hangat tropis ke bagian barat samudra dan selanjutnya mengumpul di wilayah tropis barat Samudera Pasifik (perairan utara Irian). Oleh karena itu wilayah perairan ini dikenal dengan kolam air hangat (warm pool). Kondisi ini menyebabkan tinggi muka laut rata-rata perairan tropis barat Pasifik lebih tinggi dibanding tinggi muka laut rata-rata di Samudera Hindia. Air permukaan ini kemudian masuk ke perairan nusantara yang selanjutnya disebut Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Massa air ini dikenal memiliki suhu hangat (diatas 29ºC) dan berkadar garam rendah (kurang dari 32 %o). Hal ini sangat berbeda dengan air Samudera Hindia yang relatif lebih dingin dan berkadar garam tinggi.
Masuknya air Samudera Pasifik ke Samudera Hindia akan berimplikasi terhadap neraca bahang (heat) dan fluks air tawar bukan saja pada skala regional tetapi juga global. Ada dua hal penting yang perlu diketahuii dalam dinamika atmosfer-lautan yang merupakan potensi utama dalam menentukan karakter lautan itu sendiri. Pertama adalah perlu dipahami bahwa dinamika di laut sangat dipengaruhi oleh adanya sirkulasi laut global yang melalui wilayah Indonesia. Dan yang kedua adalah adanya sirkulasi atmosfer yang bersifat musiman sehingga terjadi sirkulasi yang terus-menerus sepanjang tahun secara bolak balik. Potensi angin musiman ini menyebabkan terjadinya wilayah khusus dengan apa yang disebut dengan downwelling atau upwelling pada musim-musim tertentu.
Salah satu fenomena yang menarik untuk dipelajari di perairan ini adalah munculnya Halmahera Eddy. Eddy adalah pusaran massa air di laut yang utamanya terbentuk di sepanjang batas arus samudera. Halmahera Eddy muncul akibat pengaruh dorongan arus yang terhalang oleh topografi pulau Halmahera, sehingga terbentuk suatu pusaran besar massa air. Adanya eddy akan mengaduk massa air kaya nutrien yang selanjutnya akan merangsang blooming tumbuhan renik lautan sebagai dasar pembentukan rantai makanan di laut. Bilamana Halmahera Eddy dan front yang dibentuknya dapat dipetakan secara akurat, maka informasi ini dapat membantu dalam menentukan daerah fishing ground bagi perikanan komersial penting (Atmodipoera, 2003).
Variasi musiman terhadap nilai kesuburan perairan selama musim timur juga diperkuat oleh Sutomo (1992) yang menyebutkan bahwa nilai klorofil-a tinggi pada daerah oseanik dibanding pada daerah neritik.
Hasil penelitian yang dilakukan Hasegawa (2009) menunjukan bahwa secara musiman perairan utara Papua sangat subur yang dipicu ketika muncul Madden Julian Oscilation (MJO) dalam variasi skala 60-90 harian. Ketika MJO muncul, angin baratan akan membangkitkan gelombang Kelvin (downwelling Kelvin Wave) ke arah timur dan ketika mencapai kepulauan Bismarc gelombang ini selanjutnya terbentur oleh massa daratan kepulauan Bismarc yang selanjutnya berubah menjadi gelombang Coastally Trapped Kelvin Wave (CTKW).
Gelombang ini merambat menyusur pantai sepanjang rangkaian kepulauan Bismarc selanjutnya pantai utara Papua hingga bertemu arus permukaan yang didominasi massa air berkarakter MJO. Pertemuan arus ini memicu munculnya fenomena divergensi yang mengakibatkan taikan air pada lapisan dalam (up welling) dimana air pada lapisan bawah akan naik ke permukaan untuk mengisi kekosongan massa air pada lapisan atasnya.
Kerawanan Perairan di Wilayah Perbatasan.
Dinamika lingkungan strategis pada tatanan global, regional dan nasional akan senantiasa berubah dan sulit diprediksi. Kecenderungan global seperti ini akan mempengaruhi perkembangan lingkungan strategis regional yang pada akhirnya berdampak pada kondisi nasional. Demikian juga dengan kondisi saat sekarang ini, pengaruh ekonomi global akan berimbas pada perekonomian bangsa Indonesia. Di tingkat regional, sebagai dampak dari belum terselesainya status wilayah perbatasan antar negara serta klaim atas wilayah perairan, terutama yang memiliki kandungan potensi sumber daya alam mineral dan fosil sangat potensial menjadi pemicu ketegangan antar negara yang saling bertetangga.
Beberapa wilayah laut perbatasan Indonesia justru banyak menyimpan kekayaan minyak dan mineral seperti Celah Timor, Blok Natuna serta blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi. Hal ini membuka peluang munculnya gangguan kembali dan klaim wilayah oleh negara bertetangga yang langsung berbatasan. Semakin menipisnya cadangan energi dan sumberdaya alam yang tengah melanda dunia memaksa negara-negara tetangga yang berbatasan wilayah Indonesia akan mengeksplorasi dan mengklaim wilayah Indonesia yang kaya sebagai wilayah mereka.
Sejarah telah mencatat bahwa pulau-pulau terluar di banyak negara telah banyak menjadi sengketa wilayah laut antar negara dan memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya. Bahkan sampai menimbulkan perang, seperti antara Inggris dan Argentina beberapa waktu lalu yang memperebutkan Kepulauan Malvinas/Vocland`. Kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia, merupakan pengalaman buruk bagi bangsa Indonesia. Dapat dipetik pelajaran bahwa kita belum bisa mengelola secara baik keberadaan pulau-pulau kecil terluarnya apalagi perairan yang berada di wilayah terluar Indonesia.
Belajar dari pengalaman masa lalu, tampaknya kehadiran armada-armada perikanan Indonesia untuk menangkap ikan di perairan perbatasan menjadi sangat penting. Sebab kehadiran mereka akan memperjelas bukti kuat atas kedaulatan NKRI di wilayah tersebut. Adanya aktivitas nelayan Indonesia akan berimplikasi menurunnya peluang terjadinya Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing.
Armada nelayan juga dapat dijadikan “armada semut” yang dapat menjadi mata-mata atau bahkan menjadi petugas patroli laut swakarsa ketika patroli aparat hukum Indonesia karena kemampuannya hanya hadir secara berkala melintas di perairan tersebut karena terbatasnya anggaran. Kehadiran mereka di perairan perbatasan secara kontinyu akan mengisi aktivitasnya dengan kegiatan menangkap ikan dan memberikan posisi tawar untuk mengusir armada “tamu tak diundang” tersebut.
Prakarsa Sabuk Rumpon Laut Dalam
Potensi sumber daya perikanan laut di daerah perairan Maluku termasuk Laut Halmahera dan sekitarnya cukup besar, yaitu lebih kurang mencapai 2234742 ton per tahun, yang terdiri dari jenis ikan dengan nilai ekonomi tinggi seperti tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, setuhuk, ikan pedang, layaran, cucut dan lainnya. Sedangkan wilayah operasional untuk pengelolaan perikanan laut daerah Maluku dan sekitarnya sangat luas mencapai sekitar 2.307 km².
Namun demikian kehidupan nelayan terutama ketika harga BBM melangit dengan pendistribusian BBM yang tidak merata menjadi pilihan sulit bagi nelayan, beban merekapun semakin berat. Di sejumlah wilayah, nelayan menyiasati kenaikan BBM itu dengan mengganti bahan bakar solar menjadi minyak tanah dicampur dengan oli (mereka menyebutnya: Ireks) yang harganya jauh lebih murah meskipun dengan resiko semakin cepat rusaknya motor diesel mereka. Itupun belum cukup untuk memulihkan kondisi nelayan, sebab hasil tangkapan tidak menutup biaya bahan bakar. Oleh karena itu perlu dicari metode baru penangkapan ikan yang aman dan ramah lingkungan dengan pos pengeluaran BBM yang jauh lebih efektif.
Salah satu metode untuk menarik gerombolan ikan di laut adalah dengan mendirikan rumpon. Berkumpulnya ikan di sekitar rumpon dimanfaatkan oleh nelayan untuk memancing dan menjaring ikan. Ikan-ikan kecil akan berkumpul disekitar rumpon karena terdapat lumut dan plankton yang menempel pada atraktor rumpon yang terbuat dari daun kelapa. Ikan-ikan kecil ini akan mengundang ikan-ikan yang lebih besar sebagai pemangsanya dan demikian seterusnya hingga ikan tuna juga berada di sekitar rumpon laut dalam jarak tertentu. Teknologi pembuatan rumpon ini tergolong sederhana dengan bahan baku yang ramah lingkungan dan terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Secara umum, jenis rumpon terbagi atas jenis rumpon laut dangkal dan rumpon laut dalam. Penggunaan alat pengumpul ikan ini secara nyata selain memberikan kepastian lokasi tangkap ikan sehingga mempersingkat waktu penangkapan juga dapat menghemat ongkos BBM yang selama ini berkisar 40-60 persen dari total biaya melaut. Rumpon juga bermanfaat menjadi tempat ikan bertelur dan melindungi pertumbuhan benih ikan pelagis (nursery ground). Rumpon laut dalam yang dibangun ini mampu bertahan hingga 4-5 tahun.
Walaupun bukan tergolong baru bagi masyarakat nelayan Indonesia, pemasangan rumpon memiliki beberapa kendala seperti biaya yang dikeluarkan nelayan untuk membuat rumpon terutama untuk rumpon laut dalam yang biaya pembuatannya sangat besar (di Sulawesi Utara dibutuhkan ± Rp. 500 juta – Rp. 700 juta). Sementara jarang sekali lembaga keuangan dan perbankan mau menggelontorkan dananya untuk kredit para nelayan guna membiayai pembuatan rumpon tersebut. Rumpon juga menjadi masalah ketika dibangun di atas perairan yang sangat padat lalu lintas kapalnya.
Namun demikian, pembangunan rumpon juga harus dilihat dalam perspektif strategi pertahanan wilayah Indonesia. Rumpon ternyata tidak saja dipandang sebagai media pengumpul ikan yang banyak dipakai para nelayan, namun rumpon juga telah menunjukan peranannya dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama untuk perairan wilayah perbatasan. Wilayah dimana sebagaian besar merupakan pulau-pulau kecil dengan kekayaan laut cukup melimpah namun minimum akan aktivitas penduduk karena letaknya yang terpencil, terbatasnya sarana, prasarana dan sumberdaya manusia. Bahkan wilayah yang sangat penting ini justru sangat minim perhatian pemerintah dalam pembangunan. Wilayah ini justru sangat rawan terhadap wawasan kebangsaan.
Rumpon laut dalam dapat dibangun sepanjang perairan wilayah subur di utara Halmahera-Papua. Tentunya dengan memperhatikan aspek oseanografi, meteorologi dan ilmu perikanan yang telah dilakukan studi sebelumnya. Seperti halnya keterkaitan antara sebaran klorofil-a dan ikan pelagis dengan beberapa parameter oseanografi (fisika-kimia dan biologi) nya. Hal ini bermanfaat dalam perolehan informasi mengenai pola sebaran klorofil-a, ikan pelagis dan karakteristik fisika-kimianya.
Informasi inilah yang kemudian menentukan kapan musim kaya ikan serta lokasi-lokasi yang tepat untuk dibangun/dipasang rumpon laut dalam serta digunakan dalam menentukan desain rumpon yang cocok sesuai karakter perairannya seperti dalam pemilihan atraktor dan kedalaman yang masih potensial didiami gerombolan ikan. Khususnya bagi industri penangkapan ikan, informasi itu dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk memudahkan menentukan daerah penangkapan pada musim tertentu.
Rangkaian rumpon ini membentuk suatu formasi seperti sebuah rantai menara pengawas yang membentengi daratan Halmahera-Papua dari arah perairan di sebelah utaranya. Rangkaian rumpon inilah yang disebut dengan Sabuk Rumpon (Rumpon Belt). Sebuah desain pilihan dalam memperkuat desain strategi pertahanan wilayah yang terlebih dulu ada yaitu Black Belt dan Green Belt yang dikaji dari sisi aspek maritimnya. Inisiatif ini merupakan salah satu cara dalam menentukan strategi pertahanan wilayah laut kita ketika kita dihadapkan pada terbatasnya anggaran dengan memanfaatkan potensi maritim kita yang belum banyak didayagunakan.
Di sisi lain pengembangan sabuk rumpon ini juga mampu meminimalisir munculnya ketidakseimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan antar kawasan. Kegiatan penangkapan ikan saat ini masih terfokus di perairan sekitar pantai/pesisir dan terkonsentrasi di wilayah barat seperti Laut Jawa, Selat Malaka, dan pantai timur Sumatera, sehingga sumberdaya di perairan ini telah mengalami overfishing. Sementara sumberdaya perikanan di wilayah Indonesia bagian timur masih belum dimanfaatkan secara optimal, karena rendahnya ketersediaan sarana dan prasarana penanganan hasil tangkapan ikan di daerah tersebut dan sumber daya manusia perikanan yang terbatas serta belum tersedianya data dan infomasi perikanan yang memadai.
Strategi “Rumpon Belt” ini juga untuk mengurangi munculnya ketidakseimbangan akibat terakumulasinya sejumlah besar nelayan di wilayah tertentu yang berakibat terhadap menurunnya jumlah tangkapan, semakin kecilnya ukuran ikan, menurunnya jumlah species dan pada akhirnya berdampak pada menurunnya penghasilan nelayan.
Penutup
Setelah dijelaskan pada uraian di atas, maka dapat dipetik suatu kesimpulan bahwa prakarsa penempatan rangkaian rumpon laut dalam di perairan utara Halmahera-Papua (Rumpon Belt) dapat menjadi suatu inspirasi yang dapat dijadikan referensi dalam mengatasi masalah kerawanan di perairan perbatasan terutama pada wilayah yang berpotensi terjadinya konflik perbatasan. Strategi “Rumpon Belt” juga menjadi sebuah “Oase” bagi para nelayan Indonesia, setidaknya tiga keuntungan yang diperoleh dari rumpon yang dibangun antara lain:
a. meningkatkan produksi dan produktivitas usaha penangkapan bagi nelayan.
b. Penghematan dalam penggunaan BBM sekaligus menekan biaya operasi penangkapan ikan karena wilayah penangkapan yang sudah pasti.
c. fungsi ekologis, memperluas lahan perkembangbiakan, membangun perlindungan habitat ikan (nursery graound) serta konservasi bagi kelestarian sumberdaya perikanan.
Sedangkan dari aspek strategi pertahanan meningkatnya kehadiran dan aktifitas nelayan Indonesia menunjukan bukti kuat bahwa kedulatan NKRI tetap tegak diatas seluruh wilayah perairan dari Sabang sampai Merauke.
Oleh Mayor Laut (KH) Gentio Harsono, S.T, M.Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar