Wakil
Menteri Agama (Wamenag) Prof. Dr. Nasaruddin Umar mengatakan, di era reformasi
dan globalisasi dewasa ini ada fenomena yang menarik di tanah air bahwa
menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) praktek mistik dan perdukunan makin
laris. Ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan.
“Praktek
mistik dan dukun laris di Pilkada,” kata Nasaruddin disambut tepuk tangan dan
tawa riuh tamu undangan saat malam tasyakuran Hari Amal Bakti (HAB) ke-66
Kementerian Agama di Pekanbaru, Minggu (8/1/2011) malam. Hadir pada acara
tersebut Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Riau, Drs. H. Asyari Nur
S.H., M.M. dan para pejabat di lingkungan kementerian setempat.
Sebagaimana
diwartakan www.kemenag.go.id,
Wamenag mengaku prihatin dengan kejadian tersebut. Sebab, selain merusak nilai
agama juga membawa pengaruh buruk bagi kehidupan berbangsa. Sementara di sisi
lain, ia melihat para calon yang bertarung dalam Pilkada merasa tak percaya
diri jika tidak di-back up dukun.
Mereka merasa tak punya pegangan. Padahal perbuatan demikian telah menyeret
yang bersangkutan terjerumus ke tindakan syirik.
Pada
saat pilkada berlangsung, lanjut Wamenag, permainan sogok atau amplop ikut
mengiringi. Semua harus berbau amplop untuk memuluskan keinginan yang pada
akhirnya secara tak sadar membawa keruntuhan akhlak, etika dan nilai agama.
Jika kejujuran dan bertindak di luar koridor tuntunan agama, maka kekerasan
atas nama agama pun ikut mewarnai, seperti terorisme. Orang seenaknya mengebom,
menewaskan orang banyak. Padahal berbuat demikian tak ada kamusnya dalam agama
mana pun.
Degradasi
moral makin memprihatinkan dengan ditandainya angka perceraian yang terus
meningkat, ujar Wamenag. Dari dua juta perkawinan pada 2010 saja, sekitar 10
persennya berakhir dengan cerai. Yang menggugat cerai pun kebanyakan wanita dan
banyak terjadi pada pasangan usia muda. Jika itu terus berlanjut, persoalan
sosial pun makin besar.
Sebab,
katanya lagi, jika yang bercerai itu kebanyakan pasangan dari usia muda dan
rata-rata memiliki dua atau tiga anak kecil, secara ekonomi akan menimbulkan
persoalan pula. Apa lagi jika anak bersangkutan di bawah asuhan janda. “Menjadi
janda muda itu juga persoalan, bersolek salah. Tak bersolek apa lagi,” ucapnya
yang disambut senyum hadirin.
Pada
sambutan malam tasyakuran tersebut, Wamenag juga menyinggung pemunculan aliran
sempalan. Kelompok dari kalangan tertentu yang mudah sekali menilai kelompok
lain sebagai komunitas sesat. “Sedikit-sedikit bid`ah, melontarkan kafir kepada pihak lain. Tanpa
menggunakan ukuran yang jelas, kelompok tersebut mengecam kelompok lain
sehingga muncul disharmoni di tengah masyarakat,” katanya.
Spekulatif
Masyarakat
Indonesia kini pun secara tak sadar telah digiring dalam suasana hidup
spekulatif dan konsumtif. Konsumtif lantaran cepat sekali membuang suatu produk
yang masih bisa bermanfaat bagi kehidupan keseharian namun barang yang dimiliki
diabaikan. Tanpa menyebut nama suatu produk, ia menjelaskan bahwa membuang
barang yang masih bermanfaat sama saja dengan perbuatan mubazir. “Perbuatan
mubazir sama dengan berteman dengan setan,” katanya dengan disambut gelak tawa
hadirin.
Percaya
yang sifatnya spekulatif, menurut Nasaruddin Umar, dapat dilihat dari tawaran
menabung. Gerakan menabung adalah perbuatan baik. Sayangnya gerakan itu ikut
diwarnai dengan iming-iming hadiah yang mendorong para nasabah melakukan
tindakan spekulatif.
Hadiah
telefon genggam, mobil, hadiah umrah dan barang lainnya, katanya, menggiring
nasabah kepada perbuatan irasional dan menjauhkan umat dari agama. Padahal,
hadiah tersebut merupakan akumulasi dari bunga bank para nasabah yang
dikembalikan ke nasabah lagi. Amerika Serikat saja sebagai negara maju tak
mengajarkan nasabah bertindak spekulatif melalui promosi hadiah untuk menabung.
Terkait
dengan kelompok sempalan, ia menyatakan prihatin. Pasalnya di era reformasi
ini, dengan mengatasnamakan hak asasi manusia, mudah sekali menggiring umat ke
arah perpecahan. Dicontohkan saat penentuan awal 1 Syawal, atau Idulfitri.
Tanpa menggunakan sistem dan parameter yang berlaku dalam Islam, mereka berani
menetapkan lebaran tiga hari lebih cepat dari ketetapan sidang istbat yang
dilakukan pemerintah.
Bahkan
ada yang menetapkan lebih lama lagi dari ketetapan pemerintah. Ia khawatir jika
fenomena itu berlangsung terus, bisa jadi pertengahan Ramadan nanti bisa ada
umat Islam menyelenggarakan Lebaran. “Ini bisa melukai perasaan umat, karena
keyakinannya diacak-acak,” tegasnya.
Kementerian
Agama, untuk menetapkan awal Ramadan dan Lebaran, katanya, sudah melakukan pendekatan
dengan pakarnya. ITB dan lembaga astronomi dilibatkan. Belum lagi melalui
kajian ulama. “Jadi, saya pun telah mengingatkan kalangan pemuka agama, ulama
dan pimpinan tarekat untuk mengindahkan aturan dari kementerian agama,”
jelasnya.
Dari
banyaknya kasus yang merugikan umat Islam, peran tokoh agama dan pendidikan
agama harus dikedepankan. Kesenjangan sosial harus diatasi melalui pemberdayaan
zakat, mengoptimalkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar