Kamis, 04 April 2013

Perdukunan dalam Globalisasi



 Wakil Menteri Agama (Wamenag) Prof. Dr. Nasaruddin Umar mengatakan, di era reformasi dan globalisasi dewasa ini ada fenomena yang menarik di tanah air bahwa menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) praktek mistik dan perdukunan makin laris. Ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan.
“Praktek mistik dan dukun laris di Pilkada,” kata Nasaruddin disambut tepuk tangan dan tawa riuh tamu undangan saat malam tasyakuran Hari Amal Bakti (HAB) ke-66 Kementerian Agama di Pekanbaru, Minggu (8/1/2011) malam. Hadir pada acara tersebut Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Riau, Drs. H. Asyari Nur S.H., M.M. dan para pejabat di lingkungan kementerian setempat.
Sebagaimana diwartakan www.kemenag.go.id, Wamenag mengaku prihatin dengan kejadian tersebut. Sebab, selain merusak nilai agama juga membawa pengaruh buruk bagi kehidupan berbangsa. Sementara di sisi lain, ia melihat para calon yang bertarung dalam Pilkada merasa tak percaya diri jika tidak di-back up dukun. Mereka merasa tak punya pegangan. Padahal perbuatan demikian telah menyeret yang bersangkutan terjerumus ke tindakan syirik.
Pada saat pilkada berlangsung, lanjut Wamenag, permainan sogok atau amplop ikut mengiringi. Semua harus berbau amplop untuk memuluskan keinginan yang pada akhirnya secara tak sadar membawa keruntuhan akhlak, etika dan nilai agama. Jika kejujuran dan bertindak di luar koridor tuntunan agama, maka kekerasan atas nama agama pun ikut mewarnai, seperti terorisme. Orang seenaknya mengebom, menewaskan orang banyak. Padahal berbuat demikian tak ada kamusnya dalam agama mana pun.
Degradasi moral makin memprihatinkan dengan ditandainya angka perceraian yang terus meningkat, ujar Wamenag. Dari dua juta perkawinan pada 2010 saja, sekitar 10 persennya berakhir dengan cerai. Yang menggugat cerai pun kebanyakan wanita dan banyak terjadi pada pasangan usia muda. Jika itu terus berlanjut, persoalan sosial pun makin besar.
Sebab, katanya lagi, jika yang bercerai itu kebanyakan pasangan dari usia muda dan rata-rata memiliki dua atau tiga anak kecil, secara ekonomi akan menimbulkan persoalan pula. Apa lagi jika anak bersangkutan di bawah asuhan janda. “Menjadi janda muda itu juga persoalan, bersolek salah. Tak bersolek apa lagi,” ucapnya yang disambut senyum hadirin.
Pada sambutan malam tasyakuran tersebut, Wamenag juga menyinggung pemunculan aliran sempalan. Kelompok dari kalangan tertentu yang mudah sekali menilai kelompok lain sebagai komunitas sesat. “Sedikit-sedikit bid`ah, melontarkan kafir kepada pihak lain. Tanpa menggunakan ukuran yang jelas, kelompok tersebut mengecam kelompok lain sehingga muncul disharmoni di tengah masyarakat,” katanya.
Spekulatif
Masyarakat Indonesia kini pun secara tak sadar telah digiring dalam suasana hidup spekulatif dan konsumtif. Konsumtif lantaran cepat sekali membuang suatu produk yang masih bisa bermanfaat bagi kehidupan keseharian namun barang yang dimiliki diabaikan. Tanpa menyebut nama suatu produk, ia menjelaskan bahwa membuang barang yang masih bermanfaat sama saja dengan perbuatan mubazir. “Perbuatan mubazir sama dengan berteman dengan setan,” katanya dengan disambut gelak tawa hadirin.
Percaya yang sifatnya spekulatif, menurut Nasaruddin Umar, dapat dilihat dari tawaran menabung. Gerakan menabung adalah perbuatan baik. Sayangnya gerakan itu ikut diwarnai dengan iming-iming hadiah yang mendorong para nasabah melakukan tindakan spekulatif.
Hadiah telefon genggam, mobil, hadiah umrah dan barang lainnya, katanya, menggiring nasabah kepada perbuatan irasional dan menjauhkan umat dari agama. Padahal, hadiah tersebut merupakan akumulasi dari bunga bank para nasabah yang dikembalikan ke nasabah lagi. Amerika Serikat saja sebagai negara maju tak mengajarkan nasabah bertindak spekulatif melalui promosi hadiah untuk menabung.
Terkait dengan kelompok sempalan, ia menyatakan prihatin. Pasalnya di era reformasi ini, dengan mengatasnamakan hak asasi manusia, mudah sekali menggiring umat ke arah perpecahan. Dicontohkan saat penentuan awal 1 Syawal, atau Idulfitri. Tanpa menggunakan sistem dan parameter yang berlaku dalam Islam, mereka berani menetapkan lebaran tiga hari lebih cepat dari ketetapan sidang istbat yang dilakukan pemerintah.
Bahkan ada yang menetapkan lebih lama lagi dari ketetapan pemerintah. Ia khawatir jika fenomena itu berlangsung terus, bisa jadi pertengahan Ramadan nanti bisa ada umat Islam menyelenggarakan Lebaran. “Ini bisa melukai perasaan umat, karena keyakinannya diacak-acak,” tegasnya.
Kementerian Agama, untuk menetapkan awal Ramadan dan Lebaran, katanya, sudah melakukan pendekatan dengan pakarnya. ITB dan lembaga astronomi dilibatkan. Belum lagi melalui kajian ulama. “Jadi, saya pun telah mengingatkan kalangan pemuka agama, ulama dan pimpinan tarekat untuk mengindahkan aturan dari kementerian agama,” jelasnya.
Dari banyaknya kasus yang merugikan umat Islam, peran tokoh agama dan pendidikan agama harus dikedepankan. Kesenjangan sosial harus diatasi melalui pemberdayaan zakat, mengoptimalkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar